Labels

Saturday, September 28, 2013

Love in next live part 3: What Must I Fell

*What Must I Fell?**Part 3*

*Sungyeol PoV*
                Hubunganku dan Haneul berjalan cukup lancar. Ada perjanjian kecil namun spesial untuk kami, merayakan hari jadian setiap bulan. Hehe, memang sedikit aneh, tapi ya itulah kami. Couple yang cukup aneh -Kurang lebih-Yeah, inilah harinya 0630. Perayaan 3 bulan. Tapi...
                “Neul-a, mianhae...” Ucapku lirih sambil mengaduk-ngaduk bubur di mangkuk yang disedakan kantin sekolah.
                “Hmm, Wae geurae?” Tanya Haneul sambil memasukan sesendok bubur ke mulutnya.
                “Sepertinya hari ini batal. Aku akan pergi dengan keluargaku sepulang sekolah.” Haneul telihat sedikit terkejut.
                “Hmm, geurae? Tidak apa-apa. Masih ada hari lain.” Ucap Haneul sambil tersenyum tipis.
                “Jinja? Jadi tidak apa-apakan?” Dia hanya mengangguk mengiyakan perkataanku.
                “Gomawo neul-a!” Ucapku sambil mencubit sedikit pipinya.
                “Yaaaa...” Dia mendengus kesal.
                “Mwo?” Ucapku sambil menopang kepalaku dengan kedua tanganku.
                “Jangan lakukan didepan umum...” Ucapnya malu-malu. Aku hanya mengangguk kecil menanggapinya. “Aku pergi dulu Sungyeol-a” ucapnya sambil membawa napan dan beranjak dari meja kantin tempat kami duduk. Setelah beberapa langkah, aku terkikik. Rencanaku berhasil.


                Setelah jam pulang, aku tidak ada acara apapun dengan keluargaku. Hehe, aku berbohong pada Haneul. “Tuhan, semoga aku bisa mendapatkannya.” Ucapku sambil melangkahkan kaki keluar gerbang sekolah. Tiba-tiba Eunho memanggilku dari belakang. “Hei, Lee Sungyeol! Aku ikut!”. Akupun pergi bersama Eunho kesebuah gedung
*Sungyeol PoV End*

*Haneul PoV*
                Aku membanting tasku ke atas kasur. Hal yang pertama yang selalu aku lakukan setelah sampai dikamarku. Aku menerawang ke jendela kamar. Jendela yang tepat berhadapan dengan jendela kamar namja cingu-ku. Sekarang dia entah dimana. Saat jam pulang pun, aku tidak melihat batang hidungnya. Apa dia sangat terburu-buru?
                “Haneul-a!” Panggil Eomma dari lantai satu rumaku.
                “Ne, eomma?” Segera aku menyahut dan melesat menuju tangga dan turun ke bawah.
                “Appa tadi menelpon dan menyuruh kita untuk siap-siap.” Ujar eomma sambil membolak balik majalah.
                “Untuk apa eomma?” Tanya ku heran. Padahal hari ini bukanlah hari spesial dan perayaan ataupun semacammnya.
                “Hari ini kita akan makan malam diluar. Eomma juga tidak tau kenapa appa mu itu mengajak makan malam diluar. Tapi yang jelas siap-siap dulu sana.” Jawab eomma yang masih berkutat pada majalahnya.
                “Arraseo.” Aku hanya mengangguk dan berbalik menuju kamarku.
***
                Aku makan malam di sebuah restoran yang sering keluargaku kunjungi. Satu keluarga lengkap –aku, adik laki-laki ku, eomma, appa- duduk saling berhadapan. Sambil menunggu makanan yang kami pesan datang, appa mengajak aku dan Hajeong –adik laki-laki ku- berbincang sedikit tentang Paris.
                “Hmm, Paris... Yang penting suatu saat aku ingin sekali kesana. Pasti menyenangkan bisa kuliah disana.” Ucapku dengan mata yang berbinar-binar. Paris itu memang kota yang sangat diimpikan bagi seseorang yang bermimpi sebagai disainer seperti aku.
                “Hmm, Paris... Yang penting jangan biarkan noona dan eomma memegang kartu kredit disana.” Mendengar ucapan Hajeong, kami tertawa renyah.
                “Geurae? Sepertinya masing-masing dari kita sudah setuju.” Ucap appa mantap.
                “Maksudnya?” tanyaku heran. Tiba-tiba seorang pelayan meletakan hidangan yang kami pesan. Aku diam sejenak sampai pelayan itu mengatakan ‘silakan menikmati’ dan akhirnya pergi. Aku mengulang kembali pertanyaanku. “Maksudnya apa, appa?” tanyaku bertambah penasaran.
                “Appa diangkat menjadi principal di Paris. Jadinya kita akan terbang dan mentap di Paris besok. Tentang sekolah Haneul dan Hajeong, sudah diurus dan hanya tinggal berangkat saja besok.” Jelas appa panjang lebar yang membuat aku dan Hajeong terkejut. Eomma hanya tersenyum. Sepertinya eomma sudah tau tentang hal ini.
                Kenapa semua ini sangat tiba-tiba? Kenapa semua ini terjadi saat aku masih ingin menetap di Korea? Kenapa semua ini terjadi saat aku menemukan titik yang nyaman disini? Kenapa semua ini terjadi saat aku menemukan seseorang yang spesial? Apa yang harus kulakukan? Aku sama sekali tidak menikmati makanan yang aku pesan karna memikirkan hal ini.
*Haneul PoV end*

*Sungyeol PoV*
                Huft, hari ini hari yang cukup melelahkan. Setidaknya berbuah manis. Aku membuka jendela kamarku untuk menyegarkan udara dikamarku. Sedikit sesak, mungkin karena aku sedikit lelah. Aku melihat Haneul didepanku saat jendela itu terbuka lebar.
                “Annyeong Sungyeol-a.” Sapanya sambil tersenyum.
                “Annyeong Haneul-a.” Balasku sambil melambaikan tangan.
                “Kau baru pulang?” Tanya Haneul.
                “Oh—ne...” Jawabku sedikit canggung.
                “Ayo kita keluar. Aku ingin mencari udara segar.” Ajak Haneul.
                “Ah, ne! Ide bagus! Tunggu aku dibawah, ne?” Seru ku sambil berbalik. Tak lupa mengambil selembar kertas hasil kerja kerasku tadi. Aku menyembunyikannya di dalam saku.
                Saat tiba di bawah, aku dan Haneul memutuskan untuk pergi ke taman dekat rumahku. Tempat yang pernah kami singgahi saat hujan 3 bulan lalu. Sesampainya kami disana, kami duduk di sebuah bangku berwarna coklat.
                “Hari ini aku makan malam bersama keluargaku.” Ucap Haneul lirih. Aku merubah posisiku. Aku berjongkok sambil mendongak memandang mata Haneul.
                “Lalu?”
                “Kau tau apa yang dikatakan appa-ku?” aku mengeleng cepat. “Aku akan pindah ke Paris besok.” Aku memandang tidak percaya kepada Haneul.
                “Ji...Jinja?” Ucapku terbata-bata karena terkejut. “Bab...bagus...kalau begitu...” sambungku canggung.
                “Anni-a yeol-a.” Matanya mulai berkaca-kaca. Entah kenapa perasaanku mendadak buruk.
                “Wae? Kan disana kau bisa lebih mendalami seni desain.” Ucapku riang. Sejujurnya ini sulit untuk dikatakan. Aku harus siap menerima apapun yang akan dikatakan Haneul selanjutnya.
                “Betul tapi...” Haneul mengigit bibir bagian bawahnya, berfikir apa yang akan dia katakan selanjutnya.
                “Tapi apa?” Aku memandang lurus ke matanya.
                “Aku ingin kita mengakhiri semua.” Satu kaliamat, menciptakan beribu kepingan hati yang berserakan. Apakah ini mimpi? Aku harap waktu bisa kembali, menghambatnya untuk tidak mengatakan itu. Waktu berasa berhenti. Andai aku bisa memutarnya kembali.
                “Aku tau ini berat, tapi ini yang sepertinya harus kita lakukan. Aku tidak tau kapan aku akan kembali ke sini, kapan aku bisa bertemu dengan mu lagi, kapan kita bisa bersama lagi.” Setiap katanya hanya menambah jarum yang menancap disini. Yang sepertinya juga menjahit mulut ku untuk tidak berbicara. Aku hanya dapat memandang lurusnya saat ini.
                “Mianhae. Jeomal mianhae.” Sekarang sudah keluar bulir bening di ujung kedua matanya. Aku hanya menggenggam erat kedua tangannya. Aku harap dia peka bahwa aku melarangnya untuk bertahan, bukan menyetujui perkataan konyolnya itu.
                “Haneul-a... an... andwe-yoe...” ucapku dengan penekanan di setiap suku katanya. “Ses... sekarang...kan teknologi sudah canggih... kenapa kau memutuskan begini... kita kan masih bisa berbicara...”
                “Aku hanya tidak ingin membuatmu terkekang....” Bulir-bulir di ujung matanya perlahan mulai turun ke pipinya. Makin lama, makin banyak yang turun.
                “Apa maksudmu? Aku rela menunggumu...” Haneul memotong cepat perkataanku.
                “Menunggu? Apa... kau fikir aku akan kembali secepat mungkin ke sini?” ujarnya berderai air mata.“Aku tak tau kapan aku akan kembali. Kau juga harus bahagia....” timpalnya yang membuatku tidak terima.
                “Apa kau pikir dengan begini aku bahagia?” Tanyaku heran.
                “Sungyeo-a, jebal anirreokhe... Mianhae, telah memperlakukan mu seperti ini. Aku hanya ingin kau tidak terkekang.”Haneul menggengam erat tangan ku untuk meyakinkanku. Beberapa menit aku berfikir. Haruskah aku melepaskannya seperti ini?
                “Geurae. Kita akhiri  semua ini.” ucapku dengan tersenyum palsu. Aku menghapus air matanya.
                “Gomawo telah mengerti...” dia memeriksa sakunya dan mengambil sesuatu. “Ini, kalungku... sepertinya aku tidak bisa memilikinya lagi...” Ucapnya lirih. Aku segera menolak pemberiannya itu.
                “Mungkin kini kita berakhir tapi ini permintaan terakhirku...” Aku menarik nafasku lalu mengatakan, “Simpan kalung ini baik-baik.”
                “Apa kau masih belum terima?” Tanyanya heran. Aku hanya menggeleng dan menapatap matanya dalam.
                “Berjanjilah satu hal. Mungkin di kehidupan yang sekarang kita tidak akan bertemu lagi...” aku menghentikan perkataan ku sejenak. “Berjanjilah jika dikehidupan selanjutnya kita akan bertemu lagi.” Ucapku mantap. Haneul mengangguk.
                “Aku berjanji.” Ucapnya tersenyum manis. Dia berbalik dan melangkah meninggalkan ku pergi. Saat terakhir aku bisa melihatnya sebelum aku bertemu dengannya kembali entah kapan pun itu. Perlahan air mataku juga ikut turun.
Annyeong... Nae sarang... Jung Haneul... Gomawo,  telah menghiasi hari-hariku selama lebih dari 6 tahun... Mianhae, tidak memperlakukanmu dengan baik...” Ucapku dalam hati.

Setidaknya sekarang aku juga harus menjalani hidup dengan bahagia seperti biasanya. Seperti hari-hariku biasanya. Hanya itu yang dapat aku lakukan karena aku tidak boleh menunggunya.
*Sungyeol PoV End*
TBC

No comments:

Post a Comment